Kamis, 23 April 2009

Lahan Basah Tungkaran Martapura




TUNGKARAN MARTAPURA

Berbicara masalah weatland, di Indonesia memiliki banyak sekali kawasan weatland. Perlu kita tahu weatland atau lahan basah itu sendiri merupakan daerah yang tergenang air baik musiman atau permanen, mengalir atau tenang, air menggenanginya dapat berupa air tawar, asin ataupun air payau. Kalimantan Selatan salah satu daerah yang cukup banyak memiliki kawasan lahan basah yang sebagian besar berupa sungai, rawa dan lahan gambut dan luas kawasan lahan basah di kalsel dapat mencapai 382.272 ha. Lahan basah di Kalsel merupakan daerah cekungan pada dataran rendah yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering. Salah satu kawasan lahan basah di kalsel yang paling banyak adalah rawa. Rawa merupakan kawasan yang tergenang air baik secara musiman atau permanen, dimana banyak organisme yang hidup di daerah tersebut.


Salah satu rawa yang terdapat di Kalsel terdapat di Desa Tungkaran, Martapura. Pada tanggal 18 April 2009 kami mahasiswa ilmu Komputer FMIPA UNLAM melakukan observasi langsung ke kawasan tersebut, untuk melihat keadaan kawasan rawa itu. Rawa yang terletak di titik koordinat S : 3o 23' 55.7" dan E : 114o 49' 32.5" berada jauh dari hiruk pikuk kawasan jalan raya ini sudah banyak dimanfaatkan oleh penduduk yang berdomosili di sekitarnya. Seperti kita lihat ada yang menggarapnya sebagai lahan pertanian, areal memancing, serta ada pula yang mendirikan rumah di atasnya.

Seperti kawasan rawa lainnya, rawa ini pun juga terdapat banyak vegetasi-vegetasi air yang hidup di sana, seperti Purun Tikus (Eleocharis dulcis), Eceng gondok (Eicchorina cressipes), dan teratai (Nymphaea), dan Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk). Tidak hanya itu, di pinggir-pinggir rawa selain ditumbuhi tanaman-tanaman liar, juga ada tanaman seperti pisang dan sawo yang kemungkinan di tanam oleh penduduk. Keberadaannya vegetasi-vegetasi ini banyak mendatangkan manfaat baik bagi rawa tersebut ataupun bagi penduduk sekitar. Misalnya saja eceng gondok, secara tidak sadar tanaman yang kita anggap gulma selama ini ternyata dapat menyerap logam-logam yang terkandung di dalam air, hal ini dapat mengurangi pencemaran air rawa tersebut. Diketahui eceng gondok mampu menyerap residu dari larutan yang mengandung 0,50 ppm 2.4-D sebanyak 0,296 ppm dan 2,00 ppm 2.4-D sebanyak 0,830 ppm dalam waktu 96 jam.Adapun paraquat yang diserap oleh eceng gondok dari dua kadar, yaitu 0,05 ppm dan 0,10 ppm masing-masing adalah 0,02 ppm dan 0,024 ppm. Selain itu, jika masyarakat sekitar lebih kreatif. Serat eceng gondok juga dapat di manfaatkan sebagai kerajianan tangan yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan.

Selain vegetasi-vegetasi tersebut, di rawa juga hidup hewan-hewan seperti ikan sepat (Trichogaster pectoralis), ikan papuyu, kodok rawa (Fejervarya cancrivora), siput dan masih banyak lagi. Hidupnya ikan-ikan kecil di daerah rawa ini sering di manfaatkan warga sebagai areal pemancingan.

Namun pemanfaatan rawa ini oleh penduduk sekitar sering tidak diimbangi dengan penanggulangnya. Seperti gambar yang kita dilihat di bawah ini, pendirian MCK di tengah-tengah rawa ini dapat mencemari air rawa yang membuat banyak bakteri e-coli yang akan berkembang di air rawa tersebut. Jika air ini dimanfaatkan warga sebagai air minum, maka hal ini akan membahayakan kesehatan masyarakat sekitarnya.Sealin itu Ekosistem disekitar lahan basah di daerah tungkaran sedikit terganggu dengan adanya sampah-sampah rumah tangga dan sampah-sampah anorganik yang sangat sulit untuk diuraikan yang berserakan di kawasan tersebut. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang seberapa pentingnya peran lahan basah tersebut dalam ekosistem merupakan sebab yang dapat menghambat kelangsungan lahan basah tersebut. Apabila hal ini tidak cepat ditanggulangi maka akan menghambat eksistensi dari lahan basah itu sendiri serta dapat merusak kelangsungan dari ekosistem yang ada di sekitar lahan basah tersebut.